13 September 2007

Puisi

Arti Kehidupan
Oleh Fahmi Tibyan


Jangan sia-siakan hidup
Hidup adalah jalan tersendiri
Sebuah pilihan bagi manusia
Tuk senantiasa menemukan artinya
Berjuang...berjuang...dan berjuang....
Meskipun jatuh bangun
Dan tak jarang harus terluka
Namun itu adalah sebuah sisi dari kehidupan...

Kehidupan tidak akan berjalan tanpa adannya nafas
Nafas yang memenuhi paru-paru jiwa
Dalam mencari hakekat makna
Melintasi pikiran dan hati
Melambungkan atau malah menenggelamkan impian
Jatuh bangun adalah biasa
Yang luar biasa adalah jatuh dan kemudian kembali berdiri
Menyongsong hidup dengan ketekadan
Yang dibenamkan dalam gumpalan cita-citannya

Tak selamanya hidup itu indah
Karena memang kehidupan dihiasi dengan perhiasan yang memikat
Yang kemudian meluapakan hakekat kehidupan itu sendiri
Hidup juga tak selamannya sedih
Kesedihan adalah warna dari kehidupan
Alangkah bosannya hidup tanpa kesedihan
Kesedihan memberikan makna tersendiri
Bagi yang memahami ibrahnnya
Sebagai evaluasi tuk menatap esok hari
Selama mentari masih terbit dari timur

Surabaya, 22 Juni 2005

Konsep Komunitas

MEMBANGUN KOMUNITAS PELAJAR
Oleh Resapugar


Pendahuluan

Dewasa ini, arus globalisasi membawa pengaruh signifikan terhadap perubahan global kehidupan social culture kemasyarakatan. Seiring dengan perkembangan teknologi yang mampu menggabungkan unsur informasi dan komunikasi sehingga menjadi model interaksi sosial masyarakat modern. Tak dapat dihindari perubahan yang sangat cepat, dunia berada dalam situasi dan kondisi kehidupan antar bangsa dan negara tanpa batas. Media adalah power hegemoni masyarakat modern dalam mengubah tatatan struktur sosial kultur, politik, ekonomi dan aspek kehidupan lainnya. Media merupakan alat yang digunakan masyarakat kapitalis dalam memasarkan produk budaya dan menciptakan gaya hidup materialis, pragmatis, hedonis dan konsumtif. Meskipun disisi lain media membawa pengaruh positif dalam menggali informasi pelbagai gagasan pemikiran manusia yang dapat menunjang pembentukan masyarakat kritis.

Kehidupan masyarakat modern yang serba bebas (keserbabolehan), relativitas nilai menjadi pandangan atau pedomannya. Kebenaran sejati (etika dan agama) menjadi tergantikan perannya oleh perkembangan sains dan teknologi modern dalam memandang dan memecahkan realitas kehidupan. Disatu sisi teknologi modern menyimpan potensi menghancurkan derajat manusia (dehumanisasi), manusia telah menjadi budak oleh ciptaannya sendiri, meskipun disisi lainnya produk teknologi modern memberikan kemudahan mencari ilmu dan menggali informasi pelbagai pemikiran manusia untuk membangun peradaban dan kehidupan manusia menuju masyarakat kritis dan inklusif.

Indonesia sebagai bangsa dan negara dunia ketiga, tentunya merupakan obyek utama pemasaran produk budaya masyarakat modern. Tak bisa dihindari atau dibendung pengaruh ideologi dan gaya hidup masyarakat barat telah menghipnotis dan merasuk ruh masyarakat budaya timur. Dan Indonesia adalah merupakan bangsa dan negara besar yang memiliki keanekaragaman budaya, agama, etnis, suku, ras dan golongan serta mempunyai kekayaan alam yang melimpah, ribuan pulau yang menyimpan potensi alam dan wisata. Untuk itu diperlukan upaya sadar memelihara, melestarikan, dan menjaga kearifan budaya lokal/daerah, yang merupakan tanggung jawab seluruh lapisan masyarakat dan bukan berarti tidak mau menerima budaya asing yang masuk. Namun kita perlu upaya filterisasi produk budaya lainnya untuk memperkaya khazanah kebudayaan dengan tetap memegang teguh prinsip-prinsip atau nilai-nilai universal yang sesuai dengan falsafah hidup atau cita-cita kebangsaan.

Untuk itulah kesiapan dan kemampuan anggota masyarakat berupa daya adaptasi, elaborasi nilai-nilai baru, dan daya kreatif-inovasi serta berdaya saing menjadi syarat dan kualifikasi yang harus dimiliki anggota masyarakat. Kualitas bangsa dan negara, sesungguhnya tergantung oleh kualitas warga negaranya yang berilmu pengetahuan, berfikir positif, progresif dan menjunjung tinggi nilai-nilai universal. Ilmu pengetahuan dapat diperoleh dengan membangun tradisi intelektualisme yaitu membaca, menulis, berdiskusi dan meneliti

Untuk mewujudkan terciptanya kemampuan atau kualifikasi anggota masyarakat seperti di atas, kemungkinan kecil bisa dilakukan sendiri atau secara personal, melainkan perlu adanya entitas sosial yang sistemik dan metodologis yaitu pembangunan komunitas.

Kerangka Teori

Berbicara mengenai komunitas, setidaknya terdapat tiga pertanyaan penting. Pertama, apa hakikat komunitas?, Kedua kenapa seseorang memerlukan adanya komunitas?, Ketiga apakah sebenarnya peran komunitas jika dibandingkan dengan peran individu dan negara?. Barangkali sebagian dari kita menganggap pertanyaan tersebut hanya bersifat akademik dan tidak banyak berpengaruh terhadap kehidupan sehari-hari. Namun jika kita kaji secara mendalam, ternyata kata ‘community’ masih banyak diperdebatkan.

Dalam pendekatan argumentasi ontologis, setidaknya ada dua perspektif yang berbeda mengenai definisi hakikat komunitas. Argumen pertama mengatakan bahwa komunitas pada dasarnya merupakan asosiasi kooperatif dari individu-individu yang terikat melalui suatu kontrak sosial (social contract)[1]. Perspektif ini, individu diposisikan lebih superior dari pada komunitas, manusia adalah makhluk individualistik. Manusia modern tidak membutuhkan komunitas sebagaimana yang ada pada masyarakat tradisional, ia bisa menjadi anggota komunitas sesuai dengan kebutuhan masing-masing dan sewaktu-waktu bisa keluar masuk antar komunitas satu dengan lainnya. Hal ini disebabkan karena sense of belonging manusia modern terhadap komunitasnya sangatlah rendah, penguatan rasa komunitas tidak dilihat sebagai suatu tujuan, ia akan menjalankan kewajiban sosialnya yang selalu dipandang dari sisi untung rugi kepentingan individu. Oleh karena itu ada kecenderungan manusia modern merasa kesepian dalam keramaian, merasa terasing dengan kerabatnya sendiri, terpenjara oleh dunia serba bebas yang sesungguhnya memberikan kenikmatan semu, terbelenggu dan menjadi budak oleh ciptaannya sendiri yaitu raksasa teknologi modern melalui mekanisasi, otonomisasi dan standarisasi. Manusia digambarkan sebagai menderita kesepian yang amat sangat, menderita Angst kata Kierkegaard, mengalami kesendirian, kebosanan, kesia-siaan[2].

Sementara itu, pandangan yang lain melihat komunitas adalah suatu entitas organik dimana individu-individu berperan sebagai kandungannya (ingredients)[3]. Individu tidak dapat menjadi manusia seutuhnya tanpa menjadi bagian/anggota suatu komunitas. Argumentasi ontologis ini selaras dengan pandangan aristoteles. Menurut aristoteles, manusia adalah zoon politicon yaitu makhluk sosial yang hanya menyukai hidup bergolongan atau sedikitnya mencari teman untuk hidup bersama lebih suka dari pada hidup sendiri[4]. Sebagai anggota komunitas tentunya akan lebih mendahulukan kepentingan bersama dari pada kepentingan individu. Individu tidak hanya memiliki hak akan tetapi juga kewajiban sebagai anggota komunitas atau dengan kata lain dalam setiap hak terkandung kewajiban (rights come with responsibilities). Sedemikian tingginya rasa kepemilikan komunitas sehingga sesama anggota komunitas terdapat satu perasaan yang disebut community sentiment. Community sentiment memiliki tiga ciri penting (Tonny 2003 : 23) yaitu 1) Seperasaan, sehingga orang yang tergabung didalamnya menyebut dirinya “kelompok kami” ; 2) Sepenanggungan, dimana setiap individu sadar akan peranannya dalam kelompok dan keadaan masyarakat sendiri memungkinkan peranannya dalam kelompok dijalankan ; 3) Saling memerlukan, individu yang tergabung dalam suatu komunitas merasa dirinya tergantung pada komunitasnya[5].

Secara etimologi, kata komunitas (community) berakar dari bahasa latin yaitu ‘cum’ (besama-sama, diantara satu dengan lainnya) dan ‘munus’ (pemberian, memberi, berbagi). Dan secara terminologi, komunitas adalah sebuah entitas organik yang terdiri atas sekumpulan individu-individu dengan kesamaan identitas tertentu (unifying traits) seperti kesamaan geografis tempat tinggal, ideologi atau agama, kepentingan/kebutuhan/aspirasi, hobby, minat dan bakat serta profesi. Dengan demikian komunitas merupakan konsep yang mengandung unsur berbagi (sharing) dan kesamaan identitas tertentu (unifying traits).

Wilkinson (1972) seperti dikutip oleh Fredian Tonny (203 : 63) mengatakan bahwa pembangunan komunitas adalah[6] :

“sebuah upaya perubahan yang positip dan sengaja (purposive) yang dilakukan atau dikembangkan oleh para anggota sebuah komunitas..... Dimana mereka menyusun rencana serta menentukan arah perubahan menurut keyakinan dan persepsi mereka sendiri..... dan perubahan itu diyakini sebagai perbaikan (improvement)..... dan layaknya membangun sebuah bangunan, maka upaya perbaikan tersebut utamanya diarahkan kepada perbaikan dan pengokohan struktur-struktur penopang komunitas yang bersangkutan”.

Dan untuk mengambarkan peran negara, komunitas dan individu adalah sebagai berikut (dikutip dari tulisan Wicaksono Sarosa[7]) :

1. Statisme/ Sosialisme Radikal
a. Negara adalah entitas berdaulat yang tahu apa yang baik dan yang buruk bagi masyarakat secara keseluruhan
b. Komunitas adalah suatu unit administratif yang menjalankan kebijakan negara dalam menyediakan kebutuhan anggotanya
c. Individu adalah anggota komunitas dan warga negara yang harus tunduk pada hukum dan peraturan yang ada
2. Liberal-Komunitariansme
a. Negara harus berkerja sama dengan komunitas dan individu warga negara untuk memastikan bahwa kebutuhan dasar warga negara terpenuhi
b. Komunitas adalah entitas organik yang dibutuhkan oleh anggotanya, dan jika berfungsi dengan baik akan mengurangi kebutuhan akan intervensi negara dalam kehidupan individu dan komunitas
c. Individu adalah anggota komunitas dan warga negara yang memiliki hak-hak azazi maupun kewajiban-kewajiban sosial
3. Libertarian/ Individualism Radikal
a. Tugas negara adalah melindungi hak-hak azazi individu warga negara
b. Komunitas adalah asosiasi dari individu-individu melalui suatu kontrak sukarela untuk memfasilitasi pemenuhan kebutuhan anggotanya
c. Individu mempunyai hak yang lebih superior dalam memenuhi kebutuhannya. Tanggung jawab diserahkan pada tiap-tiap individu
Selanjutnya kata ‘pelajar’ adalah merupakan entitas sosial yang hidup dalam lingkungan yang kondusif dan ilmiah, ia adalah kaum atau generasi muda yang terdidik dan terpelajar. Di dalam Falsafah Gerakan Pelajar Islam Indonesia (PII), kata ‘pelajar’ diinterpretasikan menjadi tiga hal yaitu pertama, pelajar sebagai entitas sosial, kedua pelajar sebagai subyek pendidikan, kebudayaan dan subyek transformasi pendidikan dan kebudayaan serta ketiga kepelajaran sebagai intelektualisme.
Pada hakikatnya pelajar sebagai entitas sosial, sesungguhnya mengandung makna sosial dan politis. Pertama, pelajar merupakan representasi dari lapisan sosial yang berjumlah massa sangat besar[8]. Oleh karena jumlahnya yang begitu besar, keberadaan pelajar harus menjadi realitas yang diperhitungkan dalam pengambilan kebijakan sosial (public policy making) dibidang-bidang terkait[9]. Kedua, pelajar merupakan gambaran dari generasi pemimpin umat dan bangsa pada masa yang akan datang[10]. Secara politis, keberadaannya mewakili komunitas yang terdidik dan relatif berperadaban[11].
Pelajar sebagai subjek pendidikan, artinya proses pembelajaran untuk melakukan rekayasa peradaban dapat dilakukan dengan konsep pendidikan yang mendewasakan yaitu memunculkan kesadaran akan hakikat diri dan kehidupan. Menjadikan pelajar sebagai subjek kebudayaan merupakan penegasan tentang perlunya menumbuhkan kesadaran kritis (critical consciousness) pada diri pelajar terhadap adanya kooptasi budaya massa (mass culture)[12]. Dan pelajar sebagai subjek transformasi pendidikan dan kebudayaan berarti melakukan sosialisasi, transformasi dan ideologisasi nilai-nilai moralitas Islam, proses transformasi pendidikan dan kebudayaan dapat dilakukan secara efektif manakala dilakukan dengan pendekatan peer education (pendidikan sebaya) yaitu mereka yang memiliki kedekatan psikologis dan intelektual, kesamaan identitas dan karakter serta mengandung teknik berbagi (sharing)
Intelektualisme adalah wujud komitmen Islam terhadap ilmu yaitu pendidikan seumur hidup (long live education). Intelektualisme adalah spirit kecintaan pelajar terhadap ilmu yaitu berteman dengan buku-buku. Tradisi intelektualisme (membaca, menulis, berdiskusi dan meneliti) akan memicu keterbukaan pikiran yang akan menghantarkan pelajar dari dunia ‘gelap’ menuju dunia ‘pencerahan’.
Kerangka Pemikiran
Dalam menghadapi tantangan dan tuntutan zaman yang mengalami perubahan global, tentunya kita perlu untuk melakukan kesiapan dan kemampuan atau keterampilan tertentu yang dapat membawa pengaruh signifikan bagi perubahan dan kemajuan bangsa dan negara dalam mewujudkan cita-cita luhur kebangsaan yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa, melawan segala bentuk imperialisme, menegakkan nilai-nilai universal menuju masyarakat yang beradab, adil dan makmur. Atas dasar menjalankan amanah kesejarahan, pelajar sebagai agent of change untuk melakukan rekayasa peradaban dan untuk melakukannya tentu tidak bisa dilakukan secara individu/personal, melainkan perlu dilakukan dengan kekuatan jama’ah yaitu melalui pembangunan komunitas yang sistemik dan metodologis. Sebagai gambaran secara general, penulis menyusun peta pikiran pembangunan komunitas unggulan dikalangan pelajar sebagai berikut ;

1. Prinsip
a. Pendekatan pendidikan partisipatorik dengan teknik-teknik dialogis dan egaliter
b. Peer education
c. Kesamaan identitas tertentu (unifying traits) dan berbagi (sharing)


2. Tujuan
a. Anggota komunitas memiliki konsep kesadaran akan hakikat diri dan kehidupan
b. Anggota komunitas termotivasi untuk melakukan perubahan membangun peradaban yaitu melalui berkarya dan berprestasi
c. Anggota komunitas memiliki kemampuan dan kualitas tertentu untuk survive atau eksis di tengah arus globalisasi


3. Jenis Basis Komunitas
a. Komunitas Penulis
b. Komunitas Peneliti
c. Komunitas Lobbyer / Diplomat / Public Relation
d. Komunitas Bahasa
e. Komunitas Teknologi Informasi-Komunikasi
f. Komunitas Advokasi Pelajar dan Pendidikan
g. Komunitas Enterpreneurship


Catatan kaki

[1] Wicaksono Sarosa. Info URDI Vol 16 “Memahami Hakikat Komunitas”, hal 1
[2] Kuntowijoyo. Paradigma Islam, hal 162
[3] loc.cit,
[4] Shadily, hal 39
[5] Anwar Sitepu. Pembangunan Komunitas Peduli Anak di Kampung Belakang, hal 4
[6] Ibid
[7] Lihat tulisan “Memahami Hakikat” oleh Wicaksono Saroso, Info URDI Vol 16, hal 2. Wicaksono Sarosa adalah peneliti senior URDI dan salah satu penandatangan-usulan “The Responsive Communitarian Platform: Rights and Responsibilities”
[8] Kumpulan Keputusan dan Ketetapan Muknas ke-25 PII “Falsafah Gerakan”, hal 143
[9] Ibid
[10] Ibid
[11] Ibid
[12] Ibid, hal 144

Opini

Pelajar dan Intelektualisme
Oleh Resapugar


Kehadiran pelajar sebagai entitas sosial yang terdidik dan terpelajar, ia adalah kaum intelektual muda masa depan yang hidup dalam lingkungan yang kondusif dan ilmiah. Keanekaragaman potensi pelajar, baik berupa karya/prestasi akademik maupun non akademik adalah wujud pelangi kreatifitas anak bangsa yang akan menghantarkan dan mengukir prestasi kesejarahan dunia. Pena adalah senjata utama bagi pelajar dalam mewujudkan cita-citanya, dari kata yang tersusun secara sistemik akan menjadi proposisi-proposisi , yang kemudian akan melahirkan pemikiran atau gagasan/ide untuk disebarluaskan sebagai karya intelektual dan dijadikan bahan refleksi dialektis masyarakat dalam melakukan perubahan membangun dan menata peradaban.

Eksistensi perpustakaan sebagai taman kultur belajar/ilmiah untuk mencari ilmu dan menggali informasi pelbagai gagasan atau pemikiran nampaknya memang tidak bisa disingkirkan dalam membangun peradaban manusia yang kian berkembang pesat. Fakta historis, zaman kejayaan Islam masa lalu dalam konteks ilmu pengetahuan dan teknologi telah dimulai dengan membangun ‘baitul hikmah’ yaitu perpustakaan yang dibangun pada zaman dinasti abbasiyah dan dipergunakan sebagai ruang belajar untuk membangun tradisi keilmuan atau intelektualisme.

Kerinduan reaktualisasi tradisi intelektualisme di dunia muslim adalah merupakan spirit kebangkitan peradaban Islam mewujudkan cita-citanya membangun masyarakat beradab, adil dan makmur. Pluralitas pemikiran yang lahir dari akar tradisi agama, filsafat, kalam, tasawuf dan fiqih telah tumbuh dan berkembang subur dalam tradisi intelektualisme sepanjang sejarah peradaban Islam. Kecintaan ilmu adalah spirit kaum intelektual dalam menghasilkan karya-karya besar (khazanah keilmuan) untuk kemaslahatan dan kesejahteraan ummat. Kedewasaan, kebebasan dan keterbukaan pikiran adalah sikap dan karakter kaum intelektual dalam menerima segala bentuk dan sifat konsepsi pemikiran yang berbeda-beda untuk mencari, memahami, menyusun pengetahuan dan kebenaran. Keterbukaan berfikir adalah proses upaya sadar manusia untuk memaknai dan menyusun rumusan pengetahuan dan kebenaran proposisi-proposisi. Ruh memegang peranan penting dalam mendayagunakan instrument jasad dan hayatnya, ia adalah kekuatan berfikir yang digunakan manusia untuk menangkap dan memahami teks kebenaran serta menyusun pengetahuan, yang kemudian akan menghadirkan kesadaran akan hakikat diri dan kehidupan. Untuk memunculkan kesadaran akan hakikat diri dan kehidupan, manusia dalam mengemban dan menjalankan amanah suci atau tugas kekhalifahan (Wakil Tuhan) di bumi yaitu melalui Akal. Akal adalah daya ruh manusia untuk memahami dan merasakan kebenaran, ia adalah potensi dalam diri manusia yang digunakan untuk memahami proses dinamika kehidupan, menyakini kebenaran teks suci (baca : Al Qur’an), memaknai, menyusun atau merumuskan konsepsi kehidupan dan melakukan rekayasa peradaban.

Rekayasa peradaban adalah upaya sadar yang harus dilakukan oleh negara dan civil society dalam mengubah dan menata struktur social culture, ekonomi, politik dan aspek kehidupan lainnya untuk membangun masyarakat yang beradab, adil dan makmur. Pembangunan sebuah bangsa dan negara, sesungguhnya tergantung oleh kualitas warga negaranya yaitu rakyatnya yang berilmu pengetahuan, berfikir positif, dinamis, kreatif-inovatif, progresif, berdaya saing dan menjunjung tinggi nilai-nilai universal. Ilmu pengetahuan dapat diperoleh melalui tradisi intelektualisme yaitu membaca, menulis, berdiskusi dan meneliti. Sebagai bangsa religius dan mayoritas muslim, membaca adalah spirit dan perintah agama sebagaimana terkandung dalam wahyu pertama yaitu surat al Alaq. Menurut Prof. Dr. Wahbah Zuhaili dalam Tafsir al Munir Jilid 7, surat al Alaq memiliki tiga cakupan yang sangat prinsipil : Pertama, menjelaskan hikmah penciptaan manusia, keutamaan perintah membaca (iqra’) dan menulis (’allama bi al qalam) sebagai keutamaan manusia dari makhluk-Nya yang lain. Kedua, menjelaskan tentang ketamakan manusia terhadap duniawi dan akhirnya hancur karena kecintaannya terhadap dunia (baca ; materialisme, hedonisme). Ketiga, mengkisahkan tentang Abu Jahal yang membangkang terhadap ajaran Nabi. Wahbah Zuhaili juga menyatakan bahwa nilai normatif yang terkandung dalam surat al Alaq ini, lebih mengajak kepada manusia untuk memahami urgensi membaca dan menulis. Dengan membaca dan menulis, tentunya akan menghantarkan manusia dari dunia kegelapan menuju dunia pencerahan.

Kesalahan sistemik yang masih menggejala dalam dunia pendidikan nasional, mulai dari lembaga pendidikan dasar, menengah sampai perguruan tinggi adalah tradisi membaca dan menulis yang bermasalah. Akar masalah krusial ini adalah karena iklim argumentasi logis seringkali hanya berlaku di ruang informal dan non formal. Sekolah formal sebagai ruang kultur belajar/ilmiah para generasi penerus bangsa (baca : pelajar), yang semestinya merupakan ruang kondusif dan ilmiah. Namun pada kenyataanya ruang ini belum bisa digunakan sebagaimana mestinya, seperti adanya fasilitas perpustakaan sekolah sebagai ruang kultur belajar (taman baca) masih minim pengunjungnya (sepi) karena sebagian besar pelajar lebih suka memilih mengunjungi tempat-tempat hiburan (baca ; mall). Pertanyaannya kemudian, kenapa hal ini terjadi?ada apa dengan life style masyarakat pelajar?ada apa dengan konsep perpustakaan sekolah kita?. Secara teknis dan praktis lemahnya tradisi menulis di kalangan pelajar dikarenakan belum adanya pelajaran secara intensif tentang teknik menulis mulai dari sekolah dasar sampai menengah atas.

Menulis adalah proses pembelajaran, aplikasi pengetahuan, gambaran peta pikiran manusia secara sistemik. Prinsip menulis adalah keterampilan (skill), menulis bukanlah kemampuan yang dapat mudah dikuasai dengan sendirinya melainkan dengan ketekunan dan kesabaran yang dilakukan dalam proses pembelajaran yang panjang karena menulis bukan hal yang mudah. Menurut perkataan Qatadah dalam Tafsir al Qurthubi, ” Menulis adalah nikmat termahal yang diberikan oleh Allah, ia juga sebagai perantara untuk memahami sesuatu. Tanpanya, agama tidak akan berdiri, kehidupan menjadi tidak terarah .... ”. Bahkan Abdullah bin ’Amru, seorang ulama salaf menyatakan ”qayyidu al ilma bi al kitabah” (ikatlah ilmu dengan menulisnya).

Membaca dan menulis adalah kegiatan yang dinamis dan produktif. Membaca firman Allah, baik yang tertulis (ayat) dan terlihat (alam) sebagai fenomena dan tanda-tanda kebesaran-Nya. Menulis sebagai aplikasi pengetahuan yang diperoleh melalui proses pembelajaran yang panjang dengan penuh kesabaran, ketelitian, ketekunan, dan kejelian dalam mengungkapkan atau mengambarkan peta pikiran/pemikiran/gagasan/ide seseorang yang disusun secara sistemik. Berdiskusi adalah proses pembelajaran yang terjadi atas refleksi dialektis terhadap teks. Interpretasi teks yang terjadi dalam ruang ilmiah adalah sebuah upaya kesadaran kritis manusia memaknai dan menyusun pengetahuan dan kebenaran proposisi-proposisi.

Dan meneliti adalah merupakan proses kesadaran analitis manusia dalam mengungkap dan menemukan kebenaran melalui proses pembuktian. Keterbukaan pikiran terhadap bukti baru dan/atau yang bertentangan adalah sikap ilmiah yang harus dipegang teguh sebagai seorang filosof/ilmuwan/intelektual. Proses pembuktian dapat dilakukan dengan cara observasi, study literatur/pustaka atau dengan metode/teknik lainnya. Proses penelitian harus dilakukan secara sistemik dan metodologis. Munculnya bukti baru dan/atau yang bertentangan bisa terjadinya jika ada proses dialektika yaitu adanya thesis dan anti thesis yang kemudian terjadi dialektika untuk menemukan sintetisnya, dan hasil sintesisnya akan menjadi thesis baru yang akan berhadapan dengan anti thesisnya, yang selanjutnya tersusun sintesis baru dan proses ini secara terus menerus berlanjut.

Menjadikan intelektualisme sebagai spirit pendidikan seumur hidup (long live education) adalah wujud komitmen Islam akan kecintaan terhadap ilmu. Tradisi kultur belajar/ilmiah ini terlihat dari kecintaan akan berteman dengan buku-buku. Kebebasan dan keterbukaan berfikir akan memicu tradisi intelektualisme. Dengan menjadikan perpustakaan dan masjid sebagai taman baca dan ruang bertemu untuk berdiskusi, memenuhi kebutuhan untuk berkarya dan berprestasi sehingga kemandekan pemikiran dapat diatasi.

Pelajar adalah kelompok sosial masyarakat yang memegang peranan penting dalam mengemban amanah kesejarahan untuk melakukan perubahan dalam membangun dan menata peradaban. Pelajar adalah subyek peradaban, ia adalah merupakan generasi penerus bangsa yang lahir dan tumbuh berkembang dalam lingkungan kaum terpelajar dan terdidik, lingkungan yang kondusif dan ilmiah. Tradisi intelektualisme akan menghantarkan pelajar dari dunia ’gelap’ menuju dunia ’pencerahan’.